Kamis, 24 Juni 2010

"Sastra Jawa Takkan Mati "

Oleh : Basuki Widodo

“Senyampang orang Jawa masih ada, bahasa Jawa tak akan mati..”begitu kata Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo suatu ketika. Kata-kata itu selalu diucapkan menyangkut nasib bahasa dan sastra Jawa yang pernah diramalkan banyak orang akan mati. Tetapi apabila kata-kata itu dihadapkan pada Suripan, dia selalu optimis untuk menepis bahwa ramalan itu tidak benar, karena pengarang-pengarang muda satra Jawa akan terus bermunculan.
Tak ada yang menyangka kalau pertemuan saya dan beberapa teman sastrawan tanggal 4 Februari 2001 di rumah Prof Suripan, Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 51B Surabaya merupakan pertemuan terakhir. Ahli folklor yang juga disebut-sebut sebagai “paus” sastra Jawa itu telah pergi untuk selamanya menyusul Poer Adhi Prawoto, pengarang sastra Jawa yang juga kelahiran Blora, meninggal dan dimakamkan di Blora.
Saat pertemuan itu Suripan masih kelihatan ceria. Apalagi pertemuan yang sedianya untuk membentuk kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang baru itu ternyata sekaligus merupakan acara ulang tahunnya yang ke 61 (5 Februari 1939 –5 Februari 2001). Semua berdoa untuk kesehatan beliau dan senantiasa agar Tuhan memberinya umur panjang agar terus mengawal sastra Jawa. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Empu dan dokumentator sastra Jawa itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan Surabaya, tanggal 23 Februari 2001.
Suripan bukanlah tokoh yang pelit dengan ilmu-ilmunya. Dia selalu dekat dengan pengarang-pengarang muda. Apalagi jika dikunjungi dirumahnya, bukan main gembiranya. Katanya dia merasa muda kembali seperti masa tahun 70-an. Maka tak heran jika didatangi akan terjadi dialog yang gayeng (menarik) tak ada batasan umur dengan pengarang pemula sekalipun. Suripan selalu menjadi “suhu” sekaligus “empu” yang menempa penulis-penulis muda.
Walaupun secara formal saya tak pernah menjadi mahasiswanya, tetapi saya begitu akrab, dan saya anggap sebagai guru. Jauh sebelum ketemu, dialog, saya sejak kelas 2 SD pernah membaca tulisan Prof Suripan di Majalah Jayabaya, karena orang tua saya merupakan pelanggan fanatis terhadap majalah berbahasa Jawa ini. Dan karena itu pulalah barangkali, walaupun saya meneruskan kuliah di jurusan Seni Rupa (STKW Surabaya), saya dengan enjoy menulis karya-karya dalam bahasa Jawa di media berbahasa Jawa. Barangkali nasib yang akhirnya membawa saya sebagai wartawan/redaktur di majalah Jayabaya, dan menjadikan perkenalanku dengan Prof Suripan semakin dekat.
Yang sangat terngiang dalam pikiranku adalah beberapa patah kata, yang tidak saya ketahui ternyata itu sebagai pesan terakhir dari beliau saat-saat terakhir beliau dipercaya sebagai juri hadiah Rancage.
Perhatian Suripan sebenarnya bukan hanya pada sastra Jawa. Pendiri jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) di IKIP Surabaya (sekarang Universitan Negeri Surabaya) itu juga menulis kritik, cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia. Penyair Zawawi Imron pernah dalam suatu artikelnya pernah memberi julukan “Penyair Beras Kencur” karena dalam puisi-puisinya banyak memakai simbol-simbol daun kapulaga, beras kencur dan jenis empon-empon yang rerkat sekali dengan khasanah pedesaan Jawa.
Di tahun 70-an Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu Harian Umum Bhirawa (terbitan Surabaya). Suripan banyak mengulas karya pengarang-pengarang Jawa Timur bahkan karya-karya penyair Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi (almarhum) masih disimpan dirumahnya, termasuk karya dari dosen Fisip Unair, Aribowo, yang sekarang sudah menjadi pengamat politik.
Sebagai penggurit (penyair Jawa) yang kebetulan bekerja di media berbahasa Jawa, setiap ketemu saya Suripan selalu menanyakan pengarang-pengarang baru yang tulisannya dimuat di majalah tempat saya bekerja, sekaligus alamat dan jenis kelaminnya. Ini dapat dimaklumi, banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang menggunakan nama samaran, walaupun toh Suripan pun juga tahu karakter tulisan siapa.
Sejak tahun 1994 Suripan dipercaya oleh Yayasan “Rancage” pimpinan Ajib Rosidi sebagai juri dalam memilih karya sastra Jawa yang layak mendapatkan hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa. Walaupun karya kumpulan guritan saya “Layang Saka Paran” juga pernah mendapat hadiah sastra Rancage tahun 2000, tetapi sebagai wartawan saya pernah bertanya pada dia, “Apakah pemilihan (untuk jasa sastra Jawa) yang sementara lebih banyak pengarang-pengarang asal Jawa Timur itu tidak membuat “iri” pengarang Jawa lain di luar Jawa Timur?”
“Barangkali, karena saya juga seorang pendidik…” jawabnya. Jawaban itu menunjukkan betapa Suripan tahu seperti apa kondisi sastra Jawa di tengah penutur bahasa Jawa yang konon 60.000.000 orang lebih itu. Sangat miskin penerbitan buku. Media penerbitan berbahasa Jawa pun sekarang tinggal tiga yang masih hidup (Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit Surabaya, dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta) dengan nafas mengkis-mengkis (terengah-engah).
Sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai salah seorang yang pernah dipercaya oleh Ayip Rosidi sebagai juri untuk para pemenang hadiah Sastra “Rancage” untuk Sastra Jawa, suatu hari Prof. Suripan pernah berkata, ”Suatu saat tintingan (ulasan) karya-karya pemenang Rancage untuk sastra Jawa akan saya bukukan. Ini sebagai pertanggungjawaban saya, bahwa pemilihan saya itu bukan main-main. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang."
Sayang, belum sampai gagasan penerbitan tintingan karya sastra Jawa itu pemenang Rancage itu terlaksana, tahun ini Prof. Dr. “kentrung” itu sudah tidak lagi dipercaya sebagai juri hadiah Rancage sastra Jawa, disamping Tuhan memang memanggilnya.


Setia Pada Blora

Menurut penuturan Sardi, kakak kandung Suripan (dituturkan saat takziah di rumah keluarga Suripan Jl. Bendulmrisi) , adiknya paling bungsu dari lima bersaudara itu oleh orang tuanya sejak umur 36 hari diikutkan pada Marto Ngadiman, seorang mantri penjara Blora. Baru setelah menginjak usia sekolah dia tahu orang tua sebenarnya adalah Paridin dan Sarminah, seorang petani di Ngawen Blora. Hal ini menyadarkan nya bahwa untuk meraih cita-citanya memang harus dicapainya dengan kerja keras.
Setelah tamat SMA Blora dia melanjutkan di FKIP Universitas Airlangga, Malang jurusan Bahasa Indonesia tamat tahun 1968. Setelah itu dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya kemudian mendirikan jurusan Bahasa Daerah (Jawa). Di tahun 1972 – 1980 dia mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu sastra (filologi dan folklor humanis) di Universitas Leiden, Belanda atas bea siswa pemerintah Belanda. Hasil penelitian di Leiden, Belanda itu selanjutnya digunakan untuk studi Program Doktor ing Universitas Indonesia, sampai tahun 1987 berhasil meraih gelar doktor ilmu sastra dengan disertasi “Cerita Kentrung Sarah Wulan Tuban”. Hal ini yang menjadikan Suripan disebut sebagai “Doktor Kentrung”.
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian kentrung ini Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Suharmono Kasiyun pernah punya pengalaman menarik. Setelah semalam merekam kentrung, dia membuka bawaaan kaset di terminal. Orang-orang mengira Suripan dan Suharmono penjual kaset dengan berteriak, “Bakul kaset-bakul kaset…!,” karena saking banyaknya kaset yang dibawa.
Buku-buku yang pernah ditulis Suripan diantaranya: Telaah Kesussasteraan Jawa Modern, Mutiara Tak Terlupakan, Pengantar Sastra Lisan, Merambah Matahari (Sastra Dalam Perbandingan) dan banyak sekali tulisan tulisan tentang tanah kelahirannya Blora yang dibukukan dalam buku “Tradisi Blora” yang dibiayai anggota dan pengurus Warga Blora (Pawara).
Kecintaan terhadap tanah Blora memang sangat luar biasa. Kali Lusi, tugu dipusat kota Blora, ilalang, burung-burung pipit berarak-arak, masa kecil dengan teman-temannya penggembala, masih sering menghiasi tulisan-tulisannya. Sebagai pakar, nama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dipasang sebagai pembantu khusus di media berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Sampai-sampai suatu saat untuk menyiasati agar namanya be da di dua majalah tersebut, setiap tulisannya di Majalah Jaya Baya memakai nama samaran “Cah Blora”.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo merupakan tokoh yang bertipe pekerja keras tetapi tetap bersahaja sampai akhir hayatnya. Yang masih saya ingat ketika tahun 1986, dia memakai pakaian safari datang naik sepeda motornya Yamaha 75 berwarna merah, kemudian nongkrong di beranda Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda Surabaya. Kebersahajaan itu ternyata tak berubah sampai dia menjadi guru besar. Saya ingat, saat Diskusi Sastra Daerah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 24 Juni 1999, dia ikut istirahat bersama saya dan pengarang Sastra Jawa Djajus Pete, dan Poer Adhi Prawoto (Alm). Di penginapan, dia merasa lapar. Kemudian meminta saya untuk membelikan ketela goreng. Padahal acara diksusi sastra yang menampilkan beliau sebagai pembica bersama Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono kurang lima menit lagi.
Kini “Empu” sastra Jawa itu telah pergi. Sesuai pesanya dia minta dimakamkan di Blora. Saat-saat jenasah diantarkan ke pemakaman Gunung Wurung Blora, saya seperti masih tengiang-ngiang aku pernah membaca baris-baris guritannya yang ditulis tahun 1971.
blora…
wis kari alang-alang lan rerungkutan
rajah-rajeh ana tapak tanganku
wis kari samar-samar nyangkut pikiran
tugu wektu kang nunjem kuku
kariya basuki, mitraku
aku wis adoh lumaku ngoyak katresnanku





*)Tulisan ini ditulis sebagai kenangan terhadap Prof. Suripan Sadi Hutomo,salah satu tokoh yang pernah berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa, meninggal tahun 2001.

0 komentar:

Posting Komentar