This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 24 Juni 2010

ber "PROSPEK" cerah itu gimana seh ??

Hari ini gw login ke Y!mail. ada satu email yang mengingatkan gw tentang gw ‘dulu’. lengkapnya kaya gini:..

From: xxxxxxxx@yahoo.co.id
To:
Subject: ask jurusan sastra inggris vs hukum

Dear fellow
Saya ingin menanyakan kepada kawan kawan milisi tentang prospek masa depan jurusan sastra inggris.selain itu bila di bandingkan dengan fakultas hukum prospeknya lebih cerah yang mana dalam dunia kerja?

Sekian dulu dan terima kasih.


Gw sendiri susah jawabnya. Apa yang didefinisikan prospek cerah di masa depan ?

  1. Apakah berarti dihire perusahaan bonafide yang mau menggaji ribuan dollar plus fasilitas2 lux (misalnya transportasi, akomodasi dan health insurance yang ditanggung perusahaan 100%)?
  2. Apakah itu berarti anda jadi profesional berdasi, pake kemeja merek Armani (dan sejenisnya), nenteng tas (entah isinya laptop ato cuma bon utang). Nongkrong di kafe, sambil pencet2 communicator nokia seri terbaru sambil sesekali nelpon (entah nelpon kolega, ato cek pulsa)?
  3. Ato menjadi suatu pengusaha besar yang mendirikan dan memiliki perusahaan elit semacam Toyota, IBM, Apple, dan Microsoft?
  4. Ato sekedar jadi pekerja bebas ato freelancer. Duit ada, teman banyak, networking luas, jam kerja bebas.
  5. Ato cuma jadi Engineer, blogger kambuhan, numpang bandwith kantor dan hmmm….mengidamkan jadi salah satu yang ada diatas.

Yup, correct. Impian nomer satu sampe empat adalah impian gw waktu gw memutuskan kuliah teknik. Empat belas taun kemudian…..TARAAA……gw jadi nomer 5 !

Bangga cak?

Bangga dong. Kalo ga PD ama diri sendiri, trus gimana meyakinkan orang lain bahwa gw bisa.

Uda nemu “masa depan”nya, cak?

Ya…inilah masa depan gw. Gw yang tentukan masa depan gw. Mo jadi professional engineer yang berkualitas di bidangnya. Gw belajar apa yang gw ga tau. Bisa dari buku, internet ato dari orang2 sekitar gw. Ato nge-blog tentang hal sekitar gw. Sapa tau ada yang baca dan terinspirasi. Alhamdulillah.

So, jika balik ke masa lalu, cita2 gw ga tercapai dong? Yup. Tapi gw kan ketemu jalan yang lain lagi. Dan itu ga terbayangkan. Apa yang gw lakukan sekarang adalah menjalani. DO MY BEST in every single day of my life.

Kembali ke email diatas,

Kalo boleh gw beropini, prospek masa depan itu ga bisa digambarkan dan yang jelas blum terjadi. TAPI BOLEH dan BISA DIRENCANAKAN.Waktu jaman gw mau lulus sekolah (masih masa SMA, blum SMU loh), banyak rekan yang maunya jadi dokter, engineer, ato akuntan. HEBAT TENAN !!! Karena memang waktu itu, itulah yang dilihat kami. Bermasa depan cerah, bergaji tinggi, dan kayaknya priyayi deh. (mirip2 yang mimpi gw diatas kan?)Ada satu teman (kebetulan tetangga) yang ‘nyeleneh’, pengennya kuliah sastra jawa. “Lah, arep dadi opo kowe?” (Mau jadi apa lu?) tanggapan kami sinis.
Singkat cerita 4 tahun kemudian, teman kami ini ternyata uda melanglang buana. Bolak-balik Indo-Amrik dan Eropa kadang2 Aussie. Sewaktu dia menjadi mahasiswa, ide2nya seperti mendapat tempat. Ilmunya berkembang dan mendapat tanggapan secara luas di dunia internasional. Kayaknya pekerjaannya sebagai ahli sastra jawa menjadikannya tokoh penting dunia sastra.

Kalo uda begini, apa yang dinamakan prospek masa depan? Kalo masalah duit alias gaji, engga ketauan kan? Yakin deh…semua orang saling nutupin ngomongin pendapatan ato gaji masing2. Tapi teman kami ini bolak-balik ke luar negeri tanpa biaya sendiri, diundang jadi pembicara di seminar internasional dan masih muda itu adalah prestasi luar biasa. Bagi kami, teman kami uda sangat berhasil. jauh melampaui kami yang uda jadi dokter, engineer dan akuntan.

Jika masa depan cerah itu adalah kebahagiaan anda, maka perlu direnungkan kata2 bijak teman kami,”Cintailah profesimu. Penghargaan itu akan datang dengan sendirinya”. Jika masa depan cerah itu adalah kebahagiaan anda, ga penting kan anda mo jadi apa.

Kalo teman sebangku sih bilangnya,”Love your job not the company”. :D

Kalo boleh gw memberi saran, mending anda milih apa yang anda sukai. Sama seperti halnya milih cewek yang anda sukai. Kemudian cintailah. Nanti penghargaan akan datang dengan sendirinya. Apakah berupa rupiah, ato yang lain. Wallahualam bissawab.

FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA

Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”

saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang

tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?

Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)

Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.

Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)

"Sastra Jawa Takkan Mati "

Oleh : Basuki Widodo

“Senyampang orang Jawa masih ada, bahasa Jawa tak akan mati..”begitu kata Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo suatu ketika. Kata-kata itu selalu diucapkan menyangkut nasib bahasa dan sastra Jawa yang pernah diramalkan banyak orang akan mati. Tetapi apabila kata-kata itu dihadapkan pada Suripan, dia selalu optimis untuk menepis bahwa ramalan itu tidak benar, karena pengarang-pengarang muda satra Jawa akan terus bermunculan.
Tak ada yang menyangka kalau pertemuan saya dan beberapa teman sastrawan tanggal 4 Februari 2001 di rumah Prof Suripan, Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 51B Surabaya merupakan pertemuan terakhir. Ahli folklor yang juga disebut-sebut sebagai “paus” sastra Jawa itu telah pergi untuk selamanya menyusul Poer Adhi Prawoto, pengarang sastra Jawa yang juga kelahiran Blora, meninggal dan dimakamkan di Blora.
Saat pertemuan itu Suripan masih kelihatan ceria. Apalagi pertemuan yang sedianya untuk membentuk kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang baru itu ternyata sekaligus merupakan acara ulang tahunnya yang ke 61 (5 Februari 1939 –5 Februari 2001). Semua berdoa untuk kesehatan beliau dan senantiasa agar Tuhan memberinya umur panjang agar terus mengawal sastra Jawa. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Empu dan dokumentator sastra Jawa itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan Surabaya, tanggal 23 Februari 2001.
Suripan bukanlah tokoh yang pelit dengan ilmu-ilmunya. Dia selalu dekat dengan pengarang-pengarang muda. Apalagi jika dikunjungi dirumahnya, bukan main gembiranya. Katanya dia merasa muda kembali seperti masa tahun 70-an. Maka tak heran jika didatangi akan terjadi dialog yang gayeng (menarik) tak ada batasan umur dengan pengarang pemula sekalipun. Suripan selalu menjadi “suhu” sekaligus “empu” yang menempa penulis-penulis muda.
Walaupun secara formal saya tak pernah menjadi mahasiswanya, tetapi saya begitu akrab, dan saya anggap sebagai guru. Jauh sebelum ketemu, dialog, saya sejak kelas 2 SD pernah membaca tulisan Prof Suripan di Majalah Jayabaya, karena orang tua saya merupakan pelanggan fanatis terhadap majalah berbahasa Jawa ini. Dan karena itu pulalah barangkali, walaupun saya meneruskan kuliah di jurusan Seni Rupa (STKW Surabaya), saya dengan enjoy menulis karya-karya dalam bahasa Jawa di media berbahasa Jawa. Barangkali nasib yang akhirnya membawa saya sebagai wartawan/redaktur di majalah Jayabaya, dan menjadikan perkenalanku dengan Prof Suripan semakin dekat.
Yang sangat terngiang dalam pikiranku adalah beberapa patah kata, yang tidak saya ketahui ternyata itu sebagai pesan terakhir dari beliau saat-saat terakhir beliau dipercaya sebagai juri hadiah Rancage.
Perhatian Suripan sebenarnya bukan hanya pada sastra Jawa. Pendiri jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) di IKIP Surabaya (sekarang Universitan Negeri Surabaya) itu juga menulis kritik, cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia. Penyair Zawawi Imron pernah dalam suatu artikelnya pernah memberi julukan “Penyair Beras Kencur” karena dalam puisi-puisinya banyak memakai simbol-simbol daun kapulaga, beras kencur dan jenis empon-empon yang rerkat sekali dengan khasanah pedesaan Jawa.
Di tahun 70-an Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu Harian Umum Bhirawa (terbitan Surabaya). Suripan banyak mengulas karya pengarang-pengarang Jawa Timur bahkan karya-karya penyair Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi (almarhum) masih disimpan dirumahnya, termasuk karya dari dosen Fisip Unair, Aribowo, yang sekarang sudah menjadi pengamat politik.
Sebagai penggurit (penyair Jawa) yang kebetulan bekerja di media berbahasa Jawa, setiap ketemu saya Suripan selalu menanyakan pengarang-pengarang baru yang tulisannya dimuat di majalah tempat saya bekerja, sekaligus alamat dan jenis kelaminnya. Ini dapat dimaklumi, banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang menggunakan nama samaran, walaupun toh Suripan pun juga tahu karakter tulisan siapa.
Sejak tahun 1994 Suripan dipercaya oleh Yayasan “Rancage” pimpinan Ajib Rosidi sebagai juri dalam memilih karya sastra Jawa yang layak mendapatkan hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa. Walaupun karya kumpulan guritan saya “Layang Saka Paran” juga pernah mendapat hadiah sastra Rancage tahun 2000, tetapi sebagai wartawan saya pernah bertanya pada dia, “Apakah pemilihan (untuk jasa sastra Jawa) yang sementara lebih banyak pengarang-pengarang asal Jawa Timur itu tidak membuat “iri” pengarang Jawa lain di luar Jawa Timur?”
“Barangkali, karena saya juga seorang pendidik…” jawabnya. Jawaban itu menunjukkan betapa Suripan tahu seperti apa kondisi sastra Jawa di tengah penutur bahasa Jawa yang konon 60.000.000 orang lebih itu. Sangat miskin penerbitan buku. Media penerbitan berbahasa Jawa pun sekarang tinggal tiga yang masih hidup (Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit Surabaya, dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta) dengan nafas mengkis-mengkis (terengah-engah).
Sebagai pertanggungjawaban beliau sebagai salah seorang yang pernah dipercaya oleh Ayip Rosidi sebagai juri untuk para pemenang hadiah Sastra “Rancage” untuk Sastra Jawa, suatu hari Prof. Suripan pernah berkata, ”Suatu saat tintingan (ulasan) karya-karya pemenang Rancage untuk sastra Jawa akan saya bukukan. Ini sebagai pertanggungjawaban saya, bahwa pemilihan saya itu bukan main-main. Bukan tanpa alasan dan pertimbangan yang matang."
Sayang, belum sampai gagasan penerbitan tintingan karya sastra Jawa itu pemenang Rancage itu terlaksana, tahun ini Prof. Dr. “kentrung” itu sudah tidak lagi dipercaya sebagai juri hadiah Rancage sastra Jawa, disamping Tuhan memang memanggilnya.


Setia Pada Blora

Menurut penuturan Sardi, kakak kandung Suripan (dituturkan saat takziah di rumah keluarga Suripan Jl. Bendulmrisi) , adiknya paling bungsu dari lima bersaudara itu oleh orang tuanya sejak umur 36 hari diikutkan pada Marto Ngadiman, seorang mantri penjara Blora. Baru setelah menginjak usia sekolah dia tahu orang tua sebenarnya adalah Paridin dan Sarminah, seorang petani di Ngawen Blora. Hal ini menyadarkan nya bahwa untuk meraih cita-citanya memang harus dicapainya dengan kerja keras.
Setelah tamat SMA Blora dia melanjutkan di FKIP Universitas Airlangga, Malang jurusan Bahasa Indonesia tamat tahun 1968. Setelah itu dia menjadi pengajar di IKIP Surabaya kemudian mendirikan jurusan Bahasa Daerah (Jawa). Di tahun 1972 – 1980 dia mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu sastra (filologi dan folklor humanis) di Universitas Leiden, Belanda atas bea siswa pemerintah Belanda. Hasil penelitian di Leiden, Belanda itu selanjutnya digunakan untuk studi Program Doktor ing Universitas Indonesia, sampai tahun 1987 berhasil meraih gelar doktor ilmu sastra dengan disertasi “Cerita Kentrung Sarah Wulan Tuban”. Hal ini yang menjadikan Suripan disebut sebagai “Doktor Kentrung”.
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian kentrung ini Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Suharmono Kasiyun pernah punya pengalaman menarik. Setelah semalam merekam kentrung, dia membuka bawaaan kaset di terminal. Orang-orang mengira Suripan dan Suharmono penjual kaset dengan berteriak, “Bakul kaset-bakul kaset…!,” karena saking banyaknya kaset yang dibawa.
Buku-buku yang pernah ditulis Suripan diantaranya: Telaah Kesussasteraan Jawa Modern, Mutiara Tak Terlupakan, Pengantar Sastra Lisan, Merambah Matahari (Sastra Dalam Perbandingan) dan banyak sekali tulisan tulisan tentang tanah kelahirannya Blora yang dibukukan dalam buku “Tradisi Blora” yang dibiayai anggota dan pengurus Warga Blora (Pawara).
Kecintaan terhadap tanah Blora memang sangat luar biasa. Kali Lusi, tugu dipusat kota Blora, ilalang, burung-burung pipit berarak-arak, masa kecil dengan teman-temannya penggembala, masih sering menghiasi tulisan-tulisannya. Sebagai pakar, nama Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo dipasang sebagai pembantu khusus di media berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Sampai-sampai suatu saat untuk menyiasati agar namanya be da di dua majalah tersebut, setiap tulisannya di Majalah Jaya Baya memakai nama samaran “Cah Blora”.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo merupakan tokoh yang bertipe pekerja keras tetapi tetap bersahaja sampai akhir hayatnya. Yang masih saya ingat ketika tahun 1986, dia memakai pakaian safari datang naik sepeda motornya Yamaha 75 berwarna merah, kemudian nongkrong di beranda Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda Surabaya. Kebersahajaan itu ternyata tak berubah sampai dia menjadi guru besar. Saya ingat, saat Diskusi Sastra Daerah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 24 Juni 1999, dia ikut istirahat bersama saya dan pengarang Sastra Jawa Djajus Pete, dan Poer Adhi Prawoto (Alm). Di penginapan, dia merasa lapar. Kemudian meminta saya untuk membelikan ketela goreng. Padahal acara diksusi sastra yang menampilkan beliau sebagai pembica bersama Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono kurang lima menit lagi.
Kini “Empu” sastra Jawa itu telah pergi. Sesuai pesanya dia minta dimakamkan di Blora. Saat-saat jenasah diantarkan ke pemakaman Gunung Wurung Blora, saya seperti masih tengiang-ngiang aku pernah membaca baris-baris guritannya yang ditulis tahun 1971.
blora…
wis kari alang-alang lan rerungkutan
rajah-rajeh ana tapak tanganku
wis kari samar-samar nyangkut pikiran
tugu wektu kang nunjem kuku
kariya basuki, mitraku
aku wis adoh lumaku ngoyak katresnanku





*)Tulisan ini ditulis sebagai kenangan terhadap Prof. Suripan Sadi Hutomo,salah satu tokoh yang pernah berjasa dalam mengembangkan sastra Jawa, meninggal tahun 2001.

Sekilas Fakta tentang Ke "Sastraan Jawa"

Seorang teman kuliah saya, dahulu pernah bercerita bahwa sebenarnya bila bisa memilih dan memiliki waktu yang luang, dia hendak mencari beasiswa untuk kuliah S2 di salah satu universitas Belanda. Walaupun dia adalah seorang guru bahasa Jawa di salah satu SMP Negeri Boyolali, tapi semangatnya untuk terus belajar sangatlah tinggi. Bahkan, walaupun kini dia telah dikaruniai dua orang anak.

Lebih lanjut kemudian saya bertanya kepadanya, “Mau ambil mata kuliah apa Bu, di sana?”

“Ya bahasa dan sastra Jawa, mas. Sesuai dengan ilmu yang kini saya kuasai dan ajarkan,” jawabnya. “Tapi mau bagaimana lagi, saya terhalang banyak kendala. Di samping saya sebagai seorang istri, saya juga seorang ibu dari dua anak. Belum lagi apabila benar saya kuliah di sana, saya harus mengurus perizinan di instansi tempat saya bekerja sekarang.”

“Dan akhirnya Ibu pun terpaksa menurunkan standar nilai sehingga jadilah seperti ini. Ibu terpaksa menjadi rekan kuliah saya,” seloroh saya.

***

Bagi kebanyakan orang bisa jadi tercengang bila mendengar jawaban rekan kuliah saya. Kenapa harus sampai ke negeri Belanda jika hanya untuk mempelajari bahasa dan sastra Jawa? Bukankah di Indonesia, terkhusus di Jawa ada banyak universitas yang mengajarkan materi tersebut dalam kurikulumnya?

Berbagai pertanyaan tersebut memang tidak salah. Namun, perkataan rekan saya pun tak bisa disalahkan pula. Sebab, terbukti bahwa Belanda sangat mengapresiasi bahasa Jawa. Bahkan, bisa dibilang Negeri Kincir Angin ini memiliki andil yang cukup besar terhadap kelestarian bahasa dan khazanah sastra Jawa.

Sebagai buktinya adalah di Universiteit Leiden tersimpan manuskrip-manuskrip Jawa kuno yang masih terawat rapi. Di samping itu, berbagai naskah sastra Jawa kontemporer pun dapat ditemukan di sana. Tentunya tak sekadar disimpan, tapi berbagai naskah itu juga dipelajari, didiskusikan, dan diapresiasi oleh para mahasiswanya yang jumlahnya mencapai ribuan.

Dr. Theo Pigeaud

Di universitas itu juga kemudian muncul para munsyi pada bidang bahasa dan sastra Jawa yang kepiawaiannya telah diakui, bahkan oleh Indonesia sendiri. Sebagai contoh adalah Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud. Tak banyak orang yang mengenalnya. Dia adalah seorang ahli sastra Jawa dari Belanda. Melalui jerih payahnya, kemudian lahirlah Kamus Bahasa Jawa-Belanda yang dijadikan dasar oleh W.J.S. Poerwadarminta sebagai Baoesastra Djawa. Lelaki keturunan Perancis itu juga pernah melakukan studi mengenai kitab Nagarakretagama. Beliau meninggal dunia pada tahun 1988.

Contoh lainnya adalah Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder. Lelaki kelahiran Utrecht, Belanda ini tampaknya lebih dikenal masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta. Dia adalah seorang pakar sastra Jawa dan budayawan Indonesia. Kecintaannya terhadap khazanah sastra Jawa kemudian membuat dirinya dengan suka rela menanggalkan status kewarganegaraan Belanda dan berpindah menjadi warga negara Indonesia. Sejak saat itu, dia kemudian dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Sastra UGM.

Prof. Zoetmulder

Peran Prof. Zoetmulder sangat besar. Berbagai karya tulisnya yang membahas bahasa dan sastra Jawa sangat banyak. Adapun karyanya yang paling terkenal adalah telaah sastra Jawa Kuna Kalangwan dan kamus Jawa Kuna-nya yang terbit dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Prof. Zoetmulder meninggal dunia pada tanggal 8 Juli 1995 di pastoran Kemetiran, Yogyakarta.

Bahkan sepeninggal beliau, didirikanlah Perpustakaan Zoetmulder yang berisi berbagai naskah Jawa kuno maupun kontemporer. Perpustakaan tersebut tepatnya berada di dalam Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan saya sudah pernah masuk di dalamnya dalam rangka studi lapangan salah satu mata kuliah yang pernah saya ambil ketika kuliah S1 dahulu.
Itulah dua munsyi lulusan Universiteit Leiden Belanda. Tentunya, selain mereka berdua masih ada lagi ahli-ahli lainnya. Sampai saat ini, para ahli tersebut selalu mempelajari dan mendalami perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Hal ini tak lain bertujuan untuk melestarikan salah satu bahasa daerah yang notabene mulai dipandang sebelah mata oleh para pemakai aslinya.

Nah, apakah sekarang Anda tertarik untuk mendalami bahasa daerah Anda, khususnya bahasa Jawa di Belanda? ;)

Sumber Gambar:

http://www.freeimagehosting.net/uploads/05e5e2c8d8.jpg

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/9/93/Pigeaud-klein.jpg

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/ac/Zoetmulder-ultah.jpg/120px-Zoetmulder-ultah.jpg

Referensi:

http://www.leiden.edu/

http://id.wikipedia.org/wiki/Theodoor_Gautier_Thomas_Pigeaud

http://id.wikipedia.org/wiki/Petrus_Josephus_Zoetmulder