Minggu, 05 Desember 2010

BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

BADAN EKSEKUTIF
Badan eksekutif di Negara Negara demokratis biasanya terdiri dari presiden , menteri , pegawai negeri sipil dan militer
Presidential : Menteri menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipilih olehnya
Parlementer : Para menteri dipimpin seorang perdana menteri yang bertanggung jawab
terhadap parlemen sedangkan raja dalam monarki adalah bagian dari badan
eksekutif yang tidak tergugat
Badan eksekutif lebih cepat dalam bertindak dan pengambilan keputusan karena anggota yang sedikit sedangkan Legislatif cenderung terlalu lama dalam pengambilan tindakan dan keputusan karena jumlah anggota yang relative banyak
BADAN LEGISLATIF
Legislate : membuat undang undang . Sebutan lain People’s representative Body atau DPR. Teori = rakyat yg berdaulat punya “kehendak” ( general Will ) Keputusan yang diambil DPR merupakan suara yang authentic dari general will tersebut. Badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam bentuk undang undang.
BADAN YUDIKATIF
Trias Politika dalam arti aslinya adalah pemisahan kekuasaan yang mutlak ( separation power ) baik mengenai fungsi dan tugasnya maupun organ yang menjalankan nya . Tapi di zaman modern ini tugas Negara sudah sedemikian kompleks sehingga trias politika hanya diartikan sebagai pembagian kekuasaan ( distribution power ) yang artinya hanya ungsi pokok nya yang dipisahkan sedang selebihnya saling berkaitan satu dengan lainnya.
BADAN YUDIKATIF DI NEGARA DEMOKRASI
Sistem Common law : Menjadikan undang undang yang di buat oleh parlemen serta keputusan keputusan yang telah dirumuskan hakim pada zaman dahulu ( case law , Judge made law ) sebagai sumber hukum yang berlaku. Di Negara Negara yang mempunyai system tersebut tidak memiliki system hukum yang telah dibukukan, Hakim berkedudukan sebagai suara undang undang ( la voix de la loi ) hanya menerangkan saja hukum apa yang berlaku dalam suatu perkara. Sistem ini hampir mirip dengan hukum perdata adat tak tertulis.
Sistem Civil Law : Menjadikan undang undang hanya sebagai satu satunya sumber hukum yang biasa dikenal dengan istilah Positifisme perundang undangan ( legalisme ). Tetapi apabila terjadi sebuah perkara yang tidak diatur dalam undang undang maka hakim bebas memberi keputusan yang tidak terikat oleh keputusan hakim hakim terdahulu ( Precedent ).
Pada dasarnya dalam secara teotitis seorang hakim berhak member keputusan baru terlepas dari jurisprudensi ( keputusan hakim terdahulu terkait masalah yang serupa ) atau undang undang yang biasa mengikatnya.


BADAN YUDIKATIF DI NEGARA KOMUNIS
Pandangan komunis terhadap badan yudikatif didasarkan atas sebuah konsep yang dinamakan Soviet legality, berkaitan pula dengan tahapan tahapan menuju sebuah Negara berpaham komunis yang berawal dari sebuah paham sosisalisme. Adapun realisasi dari sosialisme tersebut merupakan unsure terpenting dalam menentukan kehidupan kenegaraan serta peranan hukum didalamnya. Karena paham itulah maka seluruh aktifitas termasuk alat alat kenegaraan, penyelenggaraan hukum dan badan yudikatif merupakan sarana untuk melancarkan perkembangan kearah komunisme. Adapun tingkat tingkat penerapan nya dalam system hukum berbeda beda menurut tempat.
Hongaria lebih menekankan kekerasan pada musuh musuh komunisme sebagaimana tercantum dalam undang undang pasal 41
Di Uni Soviet system social dan ekonomi sosialis lebih di tekankan, sehingga perlindungan terhadap hak hak asasi di uni soviet hanya sebatas bila kepentingan individu tersebut tidak mengganggu idealism Negara kea rah komunis.
BADAN YUDIKATIF DAN JUDICIAL RIVIEW
Satu ciri yang terdapat di kebanyakan Negara, baik yang memakai system Common Law maupun system Civil Law ialah hak menguji (toetsingscecht) yaitu menguji apakah peraturan-peraturan hukum yang lebih rendah dari undang-undang sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bersangkutan. Di Amerika Serikat, India dan Jerman Barat, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk menguji dan menolak pelaksanaan undang undang serta peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan undang undang dasar ( Judicial review )
KEBEBASAN BADAN YUDIKATIF
Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap Negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas dari campuran tangan badan eksekutif. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah Rule of Law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislative ataupun masyarakat umum di dalam menjalankan tugas yudikatifnya.
Cara yang dinilai efektif dalam menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif adalah pemilihan pejabat kehakiman dilakukan tidak berdasarkan pemilihan seperti halnya pada jabatan legislative dan eksekutif dengan harapan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh politik suatu massa.
KEKUASAAN BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA
Asas kebebasaan yudikatif di Indonesia berdasarkan pada Pasal 24 dan 25 UUD 45 tentang kehakiman yang menyatakan :” Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu maka harus diadakan jaminan dalam undang undang tentang kedudukan para hakim.”

Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan nya di masa demokrasi terpimpin terjadi beberapa penyelewengan diantaranya
1. Penetapan UU no. 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menyatakan :” Demi kepentingan revolusi, kehormatan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut campur dalam soal pengadilan.”
2. Pemberian status Menteri pada Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian terjadi peralihan fungsi struktur dari badan yudikatif menjadi badan eksekutif, tetapi kemudian pada masa orde baru mulai di koreksi dan diadakan perubahan.
Akibatnya timbul beberapa aksi atas penyelewengan tersebut diantaranya Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia ( KASI ) yang mendesak pemerintah untuk mengakui adanya hak menguji pada Mahkamah Agung.
Oleh karena itu MPR yang merupakan lembaga tertinggi di Negara melalui sidang ke 4 nya mengeluarkan TAP MPRS no. XIX tahun 1966, tentang peninjauan kembali produk produk legislative di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 45.
KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA SETELAH MASA REFORMASI
kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Amandemen Undang-Undang Dasar disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman bab IX membuat beberapa perubahan (Pasal 24 A,B,C) kekuasaan kehakiman terdiri atas mahkamah Agung dan mahkamah konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Tugas mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan meguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk :
1. Mengadili pada tingkat pertama yang keputusannya bersifat final :
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
- Memutuskan sengketa kewenengan lembaga Negara
- Memutus pembubaran partai politik
2. Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan Wakilnya.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing- masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, ketua dan Wakil Mahkamah Agung dipilih oleh hakim konstitusi. Hakim tidak boleh merangkap jabatan.
MAHKAMAH AGUNG
Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan militer, agama, umum, dan tata usaha Negara. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang undangan di bawah undang undang terhadap undang undang sesuai pasal 24 A.
Calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR , kemudian di tetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
KOMISI YUDISIAL
Suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota KY diberhentikan dan dan diangkat oleh presiden sesuai persetujuan DPR. ( pasal 24 B )
Sesuai amandemen UUD 45, maka terjadi perubahan kekuasaan kehakiman yang menyebabkan timbul beberapa permasalahan diantaranya :
1. Tidak adanya kejelasan status terhadap pengadilan yang sudah ada terlebih dahulu seperti pengadilan niaga, pengadilan Ad Hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syari’ah NAD, dan pengadilan adat otonomi Papua.
2. Belum adanya tempat pengadilan Khusus untuk masalah tertentu seperti korupsi, pertanahan, dan perburuhan.
Karena badan hukum yang sudah ada belum mampu untuk menegakkan supremasi hukum dan modernisasi hukum maka di bentuklah beberapa lembaga lembaga baru
1. KOMISI HUKUM NASIONAL ( KHN )
keputusan presiden nomor 15 tahun 2000 tanggal 18 Februari 2000. Pembentukan komisi ini adalah untuk mewujudkan system nasional demi menegakkan supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melibatkan unsure masyarakat.
2. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
Merupakan respon pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian. UU no. 30 tahun 2002
3. KOMINSI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Sebagai mekanisme nasional untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 15 oktober 1998 berdasarkan KEPRES no. 181 tahun 1998
4. KOMISI OMBUDSMAN ( KON )
Berperan sebagai pemantau pelayanan umum yang di jalankan oleh instansi instansi pemerintah agar berjalan baik.

0 komentar:

Posting Komentar