Kamis, 24 Juni 2010

FENOMENA PENERBITAN BUKU SASTRA JAWA

Mengaca Dari “Antologi Sajak-Sajak Jawi” sampai “Mantra Katresnan”

saben munggah saonjotan
napas sasuwek gumanti angka
saben angka tumiba
layap-luyup godhong kumleyang

tundhone bali dadi
pitakon ing ndhisik mula:
apa?

Puncaking Arjuna, 2003
(kapethik saka “Medhitasi Alang-Alang”)

Dalam sebuah perjalanan dari Denpasar –Ubud (saat penerimaan hadiah Rancage) tahun 1999, pelopor penulis geguritan, ST. Iesmaniasita (Alm), mengaku merasa punya hutang pada teman-teman sastra Jawa yang pada waktu itu dimintai geguritan untuk “Antologi Sajak-Sajak Jawi” yang akhirnya benar-benar bisa diterbitkan dalam bentuk sederhanan tanpa sepengetahuan Bu Iesmaniasita tahun 1975. Menurut pengakuannya, dalam suratnya pada teman-teman pada waktu itu akan dikirimkan honorariumnya jika sudah diterbitkan. Buku itu memang telah disetujui Gunung Agung untuk diterbitkan dan sudah di setujui H.B Jassin. Ternyata setelah lama sekali tak ada kabar beritanya, naskah itu diambil Trim Sutejo, kemudian diberikan N. Sakdani. Setelah lam sekali tak tahu rimbanya tiba-tiba belakangan diketahui telah diterbitkan dalam bentuk sederhana atas pembiayaan Humardani (Alm).
Ilustrasi di atas barangkali hanya sebagai sebuah gambaran betapa penerbitan sastra Jawa sejak dulu sampai sekarang menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pengarang-pengarang sastra yang sampai akhir hayatnya tak punya antologi, termasuk Mas Poer Adhi Prawoto (alm) yang pernah dijuluki “Raja penyair sastra Jawa” tak punya buku antologi pribadi yang cukup memadai sampai akhir hayatnya, padahal tulisan-tulisan kritiknya tentang sastra Jawa dalam bahasa Indonesia cukup banyak diterbitkan. Demikian pula Mas Nursahid P (Alm), dia menerbitkan Antologi “Mantra Katresnan” yang banyak salah ketiknya itu atas prakarsa dan dukungan teman-teman.
Dalam soal buku juga, barangkali pengarang cerkak dari Bojonegoro, Jajus Pete, yang setelah dapat hadiah Rancage jarang nulis cerkak lagi, sampai sekarang belum mempunyai buku kumpulan cerkak “Kreteg Emas Jurang Gupit” kalau tidak didukung oleh teman-teman majalah “Tempo” dan Yayasan Pinang Sirih. Buku Pak Esmiet “Nalika Langite Obah”, dan “Timbreng” yang pernah mendapat hadiah “Rancage” barangkali tak mungkin bisa terbit tanpa kerjasama antara Pak Suripan (Alm) dan penerbitan Joyoboyo.
Sebuah catatan berharga yang patut diakui dan harus diteladani dari pengarang-pengarang senior generasi Pak Esmiet (alm), Bu Iesmaniasita, Tamsir As (Alm), dan Suparto Brata, adalah semangat mereka dalam meperjuangkan sastra Jawa. Saya tahu betul betapa "“gething” dan “sengit”-nya Pak Esmiet pada Pak Suparto Brata. Betapa berbedanya cara pandang mereka dalam hal pengembangan sastra Jawa. Tetapi keduanya tetap solid di dalam menjaga staminanya untuk berkarya. Tidak sekedar “ngomong doang”, keduanya tetap jago dalam karya-karyanya. Mereka juga telah berupaya keras untuk eksis dan mengubah pandangan pengarang-pengarang sastra Jawa. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kebiasaan yang ada dari beberapa pengarang masih berkutat ke soal itu-itu saja, yaitu: setelah selesai mengarang dan dimuat di majalah, seolah kerja sudah selesai.
Mengaca dari pengalaman-pengalaman pengarang-pengarang terdahulu yang kesulitan menerbitkan buku-buku karyanya, akhirnya saya memutuskan:
Pertama, sebagai pengarang saya harus menerbitkan buku, walaupun dengan usaha dan cara sendiri. Ini bukan tanpa resiko. Kesulitan modal, kesulitan mencari penerbit, kesulitan menjual, barangkali menjadi resiko sebagai sumbangsih untuk pengembangan sastra Jawa. Saya katakan “sumbangsih”, karena sebenarnya dalam membuat buku ini, tujuan semula adalah sebagai dokumentasi pribadi, syukur alhamdulillah bila bisa ikut meramaikan perbukuan sastra Jawa. Karena tak dapat dipungkiri, bahwa dokumentasi karya-karya bagi pengarang sastra Jawa, rata-rata amburadul. Lewat buku, selain berfungsi sebagai dokumentasi karya, kita bisa mengajak dialog dengan komunitas di luar sastra Jawa, baik di dalam negeri dan luar negeri.
Kedua, mencoba dengan menggunakan cara sendiri untuk memperkuat apresiasi dengan memperluas kantong-kantong sastra Jawa, mendekatkan sastra Jawa ke sekolah-sekolah. Dari pengalaman yang saya jumpai, kita salah apabila mengatakan anak muda sekarang tak peduli dengan bahasa dan sastra Jawa.
Tentang pengembangan sastra Jawa ke depan, rasanya saya masih percaya pepatah lama tak akan berhenti “ndhedher winih budi jawi”, kita lebih baik memperkuat akar tempat kita berpijak daripada bisa meraih bintang dilangit tapi kehilangan akar. Pengembangan bahasa dan sastra Jawa bukan hanya pada pundak para sastrawan Jawa, pendidik, para pambiwara, pemerintah dan lain-lainya, tetapi semua tanpa terkecuali tetap berpulang kepada masyarakat Jawa sendiri.

Widodo Basuki
Surabaya, 2006
(Tulisan ini sebagai pengantar diskusi seribu hari “Mengenang Pengarang Esmiet” di Banyuwangi tahun 2006)

0 komentar:

Posting Komentar