Minggu, 05 Desember 2010

Philosophy of Science

PENDAHULUAN

Seringkali seorang ilmuwan mengatakan hal yang tidak masuk akal contoh : seorang ahli biologi berpendapat bahwa kita menyerupai kera , para Astronom berkata bahwa alam semesta kita ini selalu berkembang , yang kemudian menjadi pertanyaan adalah “ Bagaimana mungkin para Ahli atau ilmuwan tersebut bisa berpendapat atau sampai pada pemikiran tersebut ? “. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tak ada seorang pun yang penah melihat evolusi suatu makhluk tidak juga pernah melihat Alam semesta ini berkembang atau meluas . Jawaban dari pertanyaan diatas adalah bahwa para ahli tersebut pastilah melalui sebuah proses ilmiah untuk bisa sampai pada kesimpulan tersebut . Apakah sebenarnya penalaran ilmiah tersebut ?? dan seberapa besar kita harus percaya pada pemikiran tersebut ?? . Berikut adalah topic yang akan kita bahas pada judul berikut .

PENALARAN DEDUKTIF DAN INDUKTIF
A. PENALARAN DEDUKTIF

Para ahli logika mendapati perbedaan penting antara dasar pikiran deduktif dan induktif . contoh penalaran deduktif :
Semua orang Prancis suka anggur merah ( premis )
Pierre adalah orang Prancis ( Premis )
Jadi Pierre menyukai anggur merah ( Inference )

Pernyataan pertama disebut premis sedang kan pernyataan ke tiga di sebut inference . Contoh diatas termasuk dalam penalaran deduktif karena memilki criteria sebagai berikut : jika premis bersifat benar maka kesimpulan ( inference ) nya pasti benar , dengan kata lain kalau memang semua orng perancis suka minum anggur merah, sedangkan Pierre memang benar benar seorang Perancis , maka bisa disimpulkan bahwa Pierre menyukai anggur merah . Yang membuat hal diatas di sebut deduktif adalah apabila ada kecocokan antara premis dan kesimpulan ( inference ) , maka apabila premis bersifat benar maka pastilah inference bersifat benar pula.

B. PENALARAN INDUKTIF

5 telur dalam sebuah kardus membusuk
Semua telur di dalam kardus memiliki masa kadaluarsa yang sama
Jadi, telur keenam pastilah busuk

Sekilas penalaran diatas terlihat sempurna tapi sebenarnya premis diatas tidak membutuhkan
(berkaitan) kesimpulan. Meskipun ke 5 telur tersebut busuk dan semua telur di dalam kardus memiliki masa kadaluarsa yang sama, tapi tidak menjamin bahwa telur yang ke 6 busuk juga. Sangat mungkin bahwa telur ke 6 tersebut masih layak di konsumsi . Dan logika pun menangkap bahwa premiss bersifat benar sedangkan inference ( kesimpulan ) bersifat salah. Maka penalaran tersebut bukan lagi di sebut deduktif. Dalam penalaran induktif kita berpindah dari object yang sudah di analisa ke object yang belum di analisa seperti telur di atas .
Penalaran deduktif lebih tepat sasaran dari pada penalaran indukif, karena kita berangkat dari premiss yang benar dan bermuara pada sebuah kesimpulan yang benar pula. Begitu pula sebaliknya dengan Induktif . Meskipun penalaran induktif bersifat tidak benar tapi pada kenyataannya kita lebih sering berfikir secara induktif walaupun tak pernah kita sadari. Sebagai contoh ketika kita memutar stir mobil ke kiri maka roda mobil tersebut akan berbelok ke arah kiri dan bukan kearah kanan, sehingga ketika mengendarai mobil di jalan raya , kita akan selalu memegang teori ini. Tetapi ketika anda diminta untuk menjelaskan hal tersebut , apa yang akan anda katakan ? sedangkan anda bukan lah seorang ahli dalam bidang mekanik , maka anda hanya akan menjawab “ Setiap kali saya memutar stir kearah kiri maka roda akan berbelok kerah kiri , Maka hal itupun pastilah berlaku saat ini juga”.
Sebagian besar Filosuf menyatakan bahwa ilmuwan lebih mengandalkan penalaran induktif . Tetapi seorang filosuf yang bernama Karl Popper membantah hal tersebut . Dia menegaskan bahwa Ilmuwan hanya memakai penalaran deduktif. Ini sangat menarik apabila hal tersebut memang benar. Karena penalaran deduktif lebih tepat sasaran dari pada induktif
Berikut Argumen Popper. Meskipun tidak mungkin untuk membuktikan bahwa teori ilmiah adalah benar (hasil dari pengujian sampel data yang terbatas), sangat mungkin untuk membuktikan bahwa teori adalah salah. Misalkan ilmuwan yang sedang menguji sebuah teori bahwa semua potongan logam dapat menghantarkan listrik. Bahkan jika setiap bagian dari logam yang diuji dapat menghantarkan listrik, tidak membuktikan teori itu benar, karena alasan yang telah kita lihat. Tapi jika dia menemukan meski cuma satu bagian dari logam tidak menghantarkan listrik, hal ini membuktikan teori tersebut salah. Untuk kesimpulan dari 'ini bagian logam yang tidak menghantarkan listrik' sampai ‘adalah sebuah kesalahan bahwa semua potongan logam menghantarkan listrik ' adalah inferensi deduktif, premis yang memerlukan kesimpulan. Jadi jika seorang ilmuwan hanya tertarik dalam mendemonstrasikan bahwa sebuah teori yang diberikan adalah palsu, ia mungkin dapat mencapai tujuannya tanpa menggunakan kesimpulan induktif.
Kelemahan argumen Popper jelas. Untuk ilmuwan tidak hanya tertarik dalam menunjukkan bahwa teori tertentu salah. Ketika seorang ilmuwan mengumpulkan data percobaan, tujuan nya mungkin untuk menunjukkan bahwa teori tertentu - teori saingan barangkali - adalah salah. Tapi jauh lebih mungkin, ia berusaha meyakinkan orang bahwa teori sendiri adalah benar. Dan untuk melakukan itu, ia akan harus kembali memakai penalaran induktif. Jadi upaya Popper untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bisa di peroleh tanpa penalaran induksi tidak berhasil.

MASALAH INDUKSI HUME

Meskipun penalaran induktif tidak logis, namun sepertinya itu cara yang sangat masuk akal untuk membentuk keyakinan tentang dunia.Tapi apa yang membuat kita yakin terhadap induksi ? bagaimana menyakinkan seseorang yang berpikir induktif bahwa mereka salah ?. Seorang Filosuf dari abad ke 18 yang berasal dari Scotlandia, David Hume. Hume mengakui kita menggunakan penalaran induksi sepanjang waktu, dalam kehidupan sehari hari dan dalam ilmu, tetapi ia menegaskan ini seperti kebiasaan hewan buas. Jika di tantang memberikan alasan yang baik untuk mengguinakan induksi kita tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, pikirnya.
Menurut Hume, setiap kali kita membuat kesimpulan induktif, tampaknya kita memperkirakan apa yang di sebut “keseragaman alam” (PBB). Tetapi bagaimana kita tahu bahwa asumsi PBB adalah benar, Hume bertanya ? bisakah kita membuktikan kebenarannya ? Tidak , Kata Hume, Kita tidak bisa. Mudah untuk membayangkan bahwa semesta tidak seragam , tetapi terjadi perubahan dari hari ke hari. Jika kita bisa membuktikan bahwa PBB adalah benar maka alam semesta yang tidak seragam akan menjadi kemustahilan yang masuk akal.
Pendapat Hume dapat di hargai jika kita membayangkan akan membujuk seseorang yang tidak tidak mempercayai penalaran induktif agar mereka percaya, mungkin anda akan mengatakan : “ Lihat penalran induktif telah bekerja dari dahulu sampai sekarang , dengan nya pra ilmuan bisa memisahkan atom, mendarat di bulan, menciptakan komputer dan lain sebagai nya. Sedangkan orang yang belum pernah menggunakan induksi cenderung terpuruk.Tapi tentu saja tidak meyakinkan peragu tersebut . Pendapat bahwa” Induksi dapat dipercaya karena telah bekerja dengan baik sampai saat ini” merupakan sebuah penalaran induktif pula. Argumen tersebut tidak akan mempengaruhi orang tersebut, inilah yang dinamakan titik fundamental Hume.
Pengaruh argumen Hume merambat luas hingga kepada ilmu filsafat. ( Kegagalan Popper untuk menunjukkan bahwa ilmuan hanya perlu menggunakan kesimpulan deduktif terdorong oleh keyakinan nya bahwa Hume telah menunjukkan betapa tidak rasional nya penalran induktif ) . Ilmu pengetahuan bergantung pada induksi dan argumen Hume nampaknya menunjukkan induksi yang tidak dapat dibenarkan oleh logika. Keadaan inilah yang biasa disebut Hume induksi.

PROBABILITAS DAN INDUKSI

Probabilitas ( Kemungkinan ) memiliki lebih dari satu arti. Lihat lah contoh berikut !
1. Probabilitas kehidupan wanita di Inggris sampai 100 tahun adalah 1 banding 10
2. Probabilitas kehidupan di planet mars 1 banding 1000
Untuk contoh yang pertama mempunyai makna bahwa 1/10 dari semua wanita di inggris hidup sampai usia 100 tahun, tapi apakah untuk contoh yang kedua akan berarti bahwa 1 dari setiap seribu planet di tatasurya kita terdapat sebuah kehidupan ? jelas tidak . Dari sinilah di ketahui bahwa kata probabilitas punya makna yang berlainan. Contoh yang pertama biasa kita sebut dengan Interpretasi frekuensi probabilitas dan yang kedua disebut dengan Probabilitas subjektif .
Para Filusuf tertarik dengan ilmu Probabilitas ini karena dua hal, yang pertama adalah bahwa dalam banyak cabang ilmu pengetahuan semisal fisika dan biologi kita menemukan banyak hukum dan teori teori yang dirumuskan berdasarkan gagasan tentang probabilitas. Contoh, hukum genetika mendel yang berkaitan dengan transmisi gen. Bahwa setiap gen dalam organisme memiliki kesempatan 50% untuk menjadikannya salah satu organisme gamet antara sperma atau sel telur. Alasan kedua adalah harapan akan adanya titik terang pada inferensi ( kesimpulan ) induktif khususnya masalah Hume.

0 komentar:

Posting Komentar